Sudah tak terhitung jumlahnya tulisan sejarah yang mengangkat perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Misalnya, Michael H Hart, dalam The 100, A Ranking of The Most Influential Persons in History, menempatkan Nabi SAW sebagai orang yang paling berpengaruh dalam sejarah.
Thomas Carlyle, dalam On Heroes, Hero, Worship, and The Heroes in History, memposisikan beliau sebagai orang terpenting dari aspek kepahlawanan. Marcus Dodds, dalam Muhammad, Budha, and Christ, menyebut beliau sebagai tokoh paling berani secara moral.
Will Durant, dalam The Story of Civilization in The World, menempatkan beliau sebagai orang pertama dilihat dari hasil karyannya. Sementara, dalam Muhammad al-Rasul wa al-Risalah, Nazame Luke menempatkan ajaran Nabi sebagai yang paling perfectable.
Dalam hal itu, semuanya berkesimpulan bahwa Muhammad SAW adalah manusia teragung dalam sejarah. Penilaian ini tentu tidak berlebihan. Bahwa Muhammad SAW adalah manusia multidimensional. Sosok pemimpin yang alim, politikus yang agamawan, dan panglima yang menawan. Pemimpin yang membela hak-hak kaum tertindas.
Kini, memasuki Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul. Perayaan Maulid ini sebagai bentuk kecintaan umat Islam kepada Baginda Rasulullah Saw sebagai suri tauladan. Sebagimana dalam firman Allah “Laqod kaana lakum fii rosuulillaahi uswatun hasanatun” yang artinya “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS Al-Ahzab : 21)
Dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad di Indonesia dilakukan dengan berbagai cara, yaitu membaca Manakib Nabi Muhammad dalam Kitab Maulid Barzanji, Maulid Simtud Dhurar, Diba’, Saroful Anam, Burdah, dan lain-lain.
Selepas membaca Manakib Nabi Muhammad, acaranya dilakukan dengan santap makanan bersama-sama yang disiapkan secara gotong royong. Perayaan ini dlakukan sebagai cara meneladani jalan hidup dan tuntunan yang dibawa oleh Nabi SAW.
Moch Yunus dalam tulisannya yang berjudul Peringatan Maulid Nabi, Tinjauan Sejarah dan Tradisinya di Indonesia Ia menuliskan bahwa jika ditarik riwayatnya, perayaan Maulid Nabi Muhammad pertama kali diinisiasi oleh khalifah Mu’iz li Dinillah, salah seorang khalifah dari dinasti Fathimiyyah di Mesir pada 341 Hijriyah.
Kemudian, perayaan Maulid dilarang oleh Al-Afdhal bin Amir al-Juyusy dan kembali marak pada masa Amir li Ahkamillah pada 524 H.
Perayaan Maulid Nabi SAW kemudian dilakukan kembali berdasarkan instruksi Salahuddin Al Ayyubi pada 1183 M (579 H), atas usul Muzaffaruddin, saudara iparnya. Di antara tujuannya adalah untuk meningkatkan semangat juang umat Islam.
Setahun berikutnya, pada 1184, perayaan maulid dilakukan dengan kegiatan yang amat terkenal yaitu sayembara penulisan riwayat Nabi SAW beserta puja-pujian kepada beliau. Syaikh Ja’far Al-Barzanji terpilih menjadi pemenenang dengan kitabnya yang kerap dibaca selama maulid Nabi Muhammad yaitu Kitab Barzanji.
Peringatan Maulid Nabi yang kembali dipelopori oleh Salahuddin Al-Ayyubi itu melahirkan buah positif. Semangat juang melalui teladan kisah hidup Nabi Muhammad SAW berhasil dengan baik.
Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem bisa direbut dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi masjid kembali setelah sebelumnya diubah menjadi gereja.
Kendati demikian, perayaan Maulid Nabi sebenarnya terus menyisakan kontroversi. Dalam Sejarah Peringatan Maulid Nabi (2007) yang ditulis Nashir Al Hanin menyebutkan bahwa memperingati maulid nabi adalah bid’ah atau ritual terlarang karena tidak ada tuntunannya dari Nabi Muhammad SAW.
Dengan alasan bid’ah juga, sebenarnya instruksi Salahuddin Al Ayyubi turut ditentang oleh para alim-ulama pada 1183, karena usulnya menghidupkan kembali Maulid Nabi.
Namun Salahuddin membantah bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan untuk menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Apalagi, selepas disetujui Khalifah An-Nashir di Bagdad, perayaan ini kian semarak dilakukan.
Kontroversi lainnya adalah mengenai tanggal perayaannya. Penentuan tanggal kelahiran Nabi SAW pada 12 Rabi’ul Awal masih belum jelas titik temunya.
Hal ini dapat ditarik ke sejarah penetapan kalender dalam Islam yang baru dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab pada 630-an Masehi.
Sebagian menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sebenarnya lahir pada 9 Rabiul Awal dan sebagian lainnya yakin bahwa beliau lahir pada 12 Rabiul Awal yang sekarang menjadi hari peringatan Maulid Nabi SAW.
Dalam “Maulid Nabi Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah” yang terbit di NU Online, Ahmad Muzakki menuliskan bahwa kendati menuai kontroversi, sebaiknya perayaan maulid nabi dipandang sebagai salah satu tradisi dari tradisi-tradisi baik untuk menyuarakan syiar Islam, bukan ritual keagamaan yang dibuat-buat.
Terlebih lagi, isi dari perayaan Maulid Nabi SAW adalah ibadah-ibadah yang telah diatur dalam Alqur’an dan hadis.
Menurut banyak ulama, jika dalam perayaan itu terdapat kebaikan dan menjauhi dosa dan hal-hal buruk, atau mendatangkan karunia besar, maka perayaan Maulid Nabi SAW dapat dipandang sebagai bid’ah hasanah dan yang melakukannya memperoleh pahala.