Dalam masyarakat Indonesia yang multibudaya, sikap keberagamaan yang ekslusif
yang hanya mengakui kebenaran dan keselamatan
secara sepihak, tentu dapat menimbulkan
gesekan antar kelompok agama.

Konflik keagamaan yang banyak terjadi di Indonesia, umumnya dipicu adanya sikap
keberagamaan yang ekslusif,serta adanya
kontestasi antar kelompok agama dalam
meraih dukungan umat yang tidak dilandasi
sikap toleran, karena masing-masing menggunakan kekuatannya untuk menang sehingga
memicu konflik.

Konflik kemasyarakatan dan pemicu
disharmoni masyarakat yang pernah terjadi
dimasa lalu berasal dari kelompok ekstrim
kiri (komunisme) dan ekstrim kanan (Islamisme). Namun sekarang ini ancaman
disharmoni dan ancaman negara kadang
berasal dari globalisasi dan Islamisme.

Dalam kontek fundamentalisme agama,
maka untuk menghindari disharmoni perlu
ditumbuhkan cara beragama yang moderat,
atau cara ber-Islam yang inklusif atau sikap
beragama yang terbuka, yang disebut sikap moderasi beragama.

Moderasi itu artinya
moderat, lawan dari ekstrem, atau berlebihan
dalam menyikapi perbedaan dan keragaman.
Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal
dengan al-wasathiyah sebagaimana terekam
dari QS.al-Baqarah (2) : 143.

Kata al-Wasath
bermakana terbaik dan paling sempurna.
Dalam hadis yang juga disebutkan bahwa
sebaik-baik persoalan adalah yang berada
di tengah-tengah.
Dalam melihat dan menyelesaikan satu
persoalan, Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di tengah-tengah, dalam menyikapi sebuah perbedaan,
baik perbedaan agama ataupun mazhab.

Islam
moderat mengedepankan sikap toleransi, saling
menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran
keyakinan masing-masing agama dan mazhab,
sehingga semua dapat menerima keputusan dengan
kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi
yang anarkis.

Dengan demikian moderasi beragama
merupakan sebuah jalan tengah di tengah
keberagaman agama di Indonesia. Moderasi
merupakan budaya Nusantara yang berjalan seiring,
dan tidak saling menegasikan antara agama
dan kearifan lokal (local wisdom).

Tidak saling mempertentangkan namun mencari penyelesaian
dengan toleran. Dalam kontek beragama, memahami
teks agama saat ini terjadi kecenderungan terpolarisasinya pemeluk agama dalam dua kutub
ekstrem.

Satu kutub terlalu mendewakan teks
tanpa menghiraukan sama sekali kemampuan akal/nalar. Teks Kitab Suci dipahami lalu kemudian
diamalkan tanpa memahami konteks. Beberapa
kalangan menyebut kutub ini sebagai golongan
konservatif.

Kutub ekstrem yang lain, sebaliknya,
yang sering disebut kelompok liberal, terlalu
mendewakan akal pikiran sehingga mengabaikan
teks itu sendiri.
Jadi terlalu liberal dalam memahami nilai-nilai ajaran agama juga sama ekstremnya.
Moderat dalam
pemikiran Islam adalah mengedepankan sikap toleran dalam perbedaan.

Keterbukaan menerima keberagamaan
(inklusivisme). Baik beragam dalam mazhab
maupun beragam dalam beragama. Perbedaan
tidak menghalangi untuk menjalin kerja sama,
dengan asas kemanusiaan. Meyakini
agama Islam yang paling benar, tidak berarti harus melecehkan agama orang lain. Sehingga akan
terjadilah persaudaraan dan persatuan anatar
agama, sebagaimana yang pernah terjadi di
Madinah di bawah komando Rasulullah SAW.

Moderasi harus dipahami ditumbuh kembangkan sebagai komitmen bersama
untuk menjaga keseimbangan yang paripurna,
di mana setiap warga masyarakat, apapun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya mau saling mendengarkan satu sama lain
serta saling belajar melatih kemampuan mengelola
dan mengatasi perbedaan di antara mereka.

Untuk mewujudkan moderasi tentu
harus dihindari sikap inklusif. Menurut Shihab
bahwa konsep Islam inklusif adalah tidak
hanya sebatas pengakuan akan kemajemukan
masyarakat, tapi juga harus diaktualisasikan dalam
bentuk keterlibatan aktif terhadap kenyataan
tersebut. Sikap inklusiv-isme yang dipahami
dalam pemikiran Islam adalah memberikan ruang
bagi keragaman pemikiran, pemahaman
dan perpsepsi keislaman.

Dalam pemahaman ini, kebenaran tidak
hanya terdapat dalam satu kelompok saja, melainkan juga ada pada kelompok yang lain, termasuk
kelompok agama sekalipun. Pemahaman ini
berangkat dari sebuah keyakinan bahwa pada
dasarnya semua agama membawa ajaran
keselamatan.

Perbedaan dari satu agama yang
dibawah seorang nabi dari generasi ke generasi
hanyalah syariat saja.
Jadi jelas bahwa moderasi beragama
sangat erat terkait dengan menjaga kebersamaan
dengan memiliki sikap tenggang rasa, sebuah
warisan leluhur yang mengajarkan kita untuk
saling memahami satu sama lain yang berbeda
dengan kita.

Seruan untuk selalu menggaungkan moderasi,
mengambil jalan tengah, melalui perkataan dan
tindakan bukan hanya menjadi kepedulian para
pelayan publik seperti penyuluh agama, atau Kementerian agama namun seluruh warga negara
Indonesia.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *