Lahirnya MIT tidak terlepas dari munculnya beberapa kelompok sejenis di Indonesia pada perjalanan dekade 2000-an. Tahun 2008, dibentuk Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Salah seorang perintis JAT adalah Abu Bakar Ba’asyir, mantan pemimpin Jamaah Islamiyah (JI). Aman Abdurrahman, pendiri Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang baru saja bebas dari penjara, turut bergabung.
Dikutip dari buku Handbook of Terrorism in The Asia-Pacific (2016) suntingan Gunitna Rohan dan Kam Stefanie Li Yee, Santoso alias Abu Wardah juga berperan aktif dalam pembentukan cabang JAT di Poso, Sulawesi Tengah. Jauh sebelumnya, Santoso juga terlibat dalam Kerusuhan Poso yang berlangsung sejak 1998.
Santoso yang berhasil merekrut dan membina cukup banyak kader militan beberapa kali memimpin aksi penyerangan terhadap aparat keamanan Indonesia. Pada 2010, Santoso dan para pengikutnya menggelar pelatihan militer di dua tempat di wilayah Poso. Inilah awal mula terbentuknya MIT. Santoso menjadi pemimpin tertinggi (amir) MIT pada 2012.
Sejarah telah mencatat berbagai peristiwa yang mengancam ketentraman dan kedamaian di Kabupaten Poso. Yang dilakukan kelompok tersebut. Terorisme merupakan satu dari 18 macam kejahatan yang diakui oleh PBB. Aktivitas ini dapat dikatakan sebagai kejahatan kontemporer.
Namun kini upaya-upaya panjang yang dilakukan pihak keamanan negara dalam memberantas terorisme di Poso tengah membuahkan hasil.
Polisi akhirnya berhasil menghakhiri pengejaran keseluruhan DPO teroris Poso yang tergabung dalam kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang bersembunyi di pegunungan Poso Sulawesi Tengah.
Setelah memakan waktu yang cukup panjang personel Satgas Madago Raya berhasil menembak mati satu sisa kelompok MIT Askar alias Pak Guru di Poso, pada Kamis (29/9/2022).
Askar, yang masuk daftar pencarian orang Polda Sulawesi Tengah, tewas dalam baku-tembak dengan Satgas Madago Raya yang terjadi di km 13 Desa Kilo, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Namun, meskipun demikian setelah tewasnya terorisme di Poso, apakah teror di Poso ataupun Indonesia akan lenyap? Berikut beberapa faktor yang perlu dicermati bersama.
Pertama, selalu ada aktor baru yang muncul atau dimunculkan. Sebelum Mujahidin Indonesia Timur, publik diperkenalkan dengan Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Daulah. Keduanya disebut sebagai pengendali gerakan bom bunuh diri ataupun serangan teror di berbagai kota di Indonesia.
Yang menarik, setelah Afghanistan dikuasai Taliban, pemangku kepentingan pemberantasan terorisme di Indonesia mulai menggiring opini bahwa akan ada pengaruhnya di Indonesia. Pernyataan Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) ataupun Detasemen Khusus Antiteror 88 dalam sebulan terakhir cukup keras menyikapi euforia Taliban di dalam negeri.
Kedua, jejaring teroris Asia Tenggara yang disebut masih aktif. Dalam beberapa kesempatan, menteri pertahanan periode sebelumnya, Ryamizard Ryacudu, menyatakan bahwa masih ada ribuan kombatan eks ISIS, yang kini masuk ke Asia Tenggara.
Faktor ketiga, konflik Poso, yang disebut memicu munculnya Santoso dan kawan-kawan, memiliki genealogi cukup panjang. Disebut merupakan kelanjutan, langsung atau tidak langsung, dari konflik Sampit Kalimantan Barat dan konflik Ambon. Akar permasalahnnya jauh dari konflik agama.
Dalam berbagai literatur disebut akar masalah konflik dan kerusuhan Sampit, Ambon, Poso, adalah kesenjangan ekonomi dan kontestasi politik lokal. Dari sini, aktor-aktor tertentu mengubahnya menjadi konflik Islam melawan Kristen. Kemudian berubah lagi menjadi konflik Islam melawan negara Indonesia.
Kita berharap, pemerintah pusat sigap menyikapi situasi keamanan di Poso. Sigap dalam artian, segera mungkin pendekatan keamanan yang amat dominan di sana, dapat berganti dengan pendekatan kesejahteraan. Bahan bakar dari gerakan kelompok-kelompok macam ini umumnya hanya dua, suara mereka tidak didengar dan kondisi perekonomiannya jelek.
Mendengar ketidakpuasan publik, mempercepat pembangunan di Poso dan kawasan sekitarnya, serta membangkitkan perekonomian lokal menjadi salah satu faktor penting. Tidak lupa juga menggenjot kualitas pendidikan dan sumber daya manusia.
Dengan begitu, tidak ada celah bagi warga di sana untuk mendukung ataupun bergabung dengan gerakan sejenis. Kita berharap dan berdoa, peristiwa ini membuka babak baru kehidupan warga di Poso dan sekitarnya.