free page hit counter

“Kemajemukan harus bisa diterima, tanpa adanya Perbedaan”- Gus Dur-
Dunia itu beragam dan hal itu merupakan sunatullah, sesuatu yang tidak dapat di tolak oleh
siapapun, itu adalah kenyataan yang harus di terima oleh umat manusia hal ini sesuai dengan
surah Al-Hujarat ayat 13 “ Hai manusia, sesungguhnya kami jadikan kamu dari laki-laki dan
perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal…” apalagi di Indonesia yang merupakan negara multikultural artinya memiliki tingkat
keanekaragaman tergolong tinggi, mulai dari suku, ras, etnis, bahasa dan juga agama.
Keberagaman ini yang kemudian menjadi sebuah kekayaan bangsa yang tentunya tidak banyak
dimiliki oleh negara lain, namun di sisi lain hal ini juga sangat potensial menjadi sumber konflik
yang akan menimbulkan korban jiwa, luka,dan kerugian material yang tidak sedikit.
Konflik yang terjadi dikarenakan keberagaman ini antara lain sebut saja kasus Agama di Ambon,
Poso, Papua, kasus Suku di Sampit dan masih banyak kasus lainnya di seluruh wilayah di
Indonesia.  Dikutip dari kompas.com bahwa setelah masa reformasi setidaknya sampai tahun
2020 ini ada 2398 kasus akibat intoleransi dan diskriminasi, angka yang fantastis bukan?
Diketahui dari jumlah kasus tersebut sebanyak 65 persen berlatar belakang agama dan sekitar
20 persen karena masalah etnis, sisanya karena antar golongan. Dalam kajian psikologi sosial,
istilah intoleransi ini biasanya bergabung dengan istilah diskriminasi, yaitu perlakuan yang
berbeda berdasarkan kelompok atau identitas sosialnya (ras, golongan, jenis kelamin, ekonomi,
agama, dan sebagainya).
Kalau di telisik lebih jauh awal mula masalah intoleransi lahir dari rahim prasangka
atau prejudice. Secara sederhana prasangka dapat di artikan sifat negatif, dan sesuatu yang
bersifat emosional, ada juga yang mengatakan bahwa prasangka adalah opini tentang sesuatu
atau seseorang atau kelompok tertentu yang terbentuk semata-mata didasarkan pada
keanggotan dan sifatnya terlalu dini tanpa pengetahuan serta pengamatan yang cukup. Hal ini
yang menimbulkan kecurigaan dan kebencian yang pada akhirnya menjurus pada perilaku dan
aksi intoleransi maupun diskriminasi, terutama bagi anak dan remaja yang biasanya menjadi
“sasaran empuk” bagi generasi sebelumnya untuk menanamkan prasangka. Padahal dalam
Islam sendiri secara tegas sudah di jelaskan pada surat Al-Hujarat ayat 12 mengenai perintah
untuk tidak berprasangka buruk bahkan sampai mencari-cari kesalahan oranglain, bahkan
dalam hadits pun juga sudah di jelaskan bahwa kita harus berhati-hati dan menjauhi dari
prasangka (buruk). Artinya ajaran Islam memandang prasangka sosial sebagai suatu sikap yang
mengakibatkan keburukan bagi kehidupan manusia Tapi apa mungkin manusia tidak memiliki
prasangka? Apalagi setiap hari media online terutama media sosial terus
menerus memborbardir dengan berita yang menakutkan, penuh dengan ujaran-ujaran kebencian
dan provokatif.

Prasangka muncul dari stereotip yang biasanya berkembang di masyakarat, dapat diartikan
stereotip adalah generalisasi pada setiap anggota kelompok tanpa pertimbangan yang matang.
Dalam keseharian kita sebenarnya cukup akrab dengan stereotip, baik terkait dengan strereotip
agama, atau pun etnis dan suku tertentu contohnya: orang Padang itu perhitungan dan pelit,
orang Jawa itu rajin, orang Makassar itu pemarah, orang Cina itu pandai dan cerdik, dan
berbagai macam stereotip lainnya. Akibat dari stereotip inilah seseorang tidak dapat
membedakan karakter yang dimiliki oleh pribadi anggota kelompok dengan karakter
kelompoknya. Stereotip bersifat otomatis bahkan tanpa disadari orang yang bersangkutan ini
kemudian menimbulkan prasangka dan yang menjadi motor dari intolernasi dan diskriminasi
yang mana memang merupakan konsekuensi alamiah dari pola pikir yang ada dalam setiap
kognisi makhluk sosial, termasuk manusia.
Dalam ilmu perilaku fungsi kognitif individu memiliki kecenderungan untuk melakukan
kategorisasi. Pola pikir ini merupakan bawaan dari leluhur manusia ketika masih menjadi
pemburu dan pengumpul makanan (hunter-gatherer). Konon katanya, ganasnya alam liar
membuat manusia harus berkelompok dan saling membantu untuk bertahan hidup.
Kategorisasi antara ‘kami’ dan ‘mereka’ merupakan representasi himpunan kesamaankesamaan
di antara anggota kelompoknya, sedangkan kata mereka menegaskan perbedaanperbedaan
yang dimiliki anggota kelompok lainnya. Perbedaan ini yang kemudian menjadi akar
dari ketegangan-ketegangan kelompok.
Seandainya kata ‘kami’ atau ‘mereka’ menjadi ‘kita’ bukan hal yang mustahil kalau persatuan
akan bisa di raih, apalagi kita bangsa Indonesia memiliki semboyan yaitu Bhinneka Tunggal
Ika yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu serta ikrar Sumpah Pemuda yang sebenarnya bisa
di apresasi secara mendalam karena mampu mengubah perspektif kami dan mereka
menjadi kita. Kemudian kalau kita melihat dari sejarah, betapa berat perjuangan merebut
kemerdekaan negara ini, tidak hanya diperjuangkan oleh satu kelompok, suku ataupun
kelompok agama tertentu, semua kelompok berperan dalam memerdekan Indonesia dengan
cara masing-masing tapi satu tujuam tertentu.
Usaha-usaha preventif untuk mencegah prasangka yang menyebabkan intoleransi dan
diskriminasi diperlukan sejak dini agar nilai multikulturalisme pada generasi penerus kita
semakin kokoh di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi seperti sekarang.
Pendidikan multikultural adalah salah satu cara untuk mencegah prasangka tersebut. Cara
sederhana  yang di ajukan penulis dalam upaya pencegahan tersebut di mulai dari lingkungan
rumah dan sekolah, yaitu dengan memberikan pengalaman keberagaman pada anak-anak sejak
dini, tidak hanya dalam hal yang sifatnya konstekstual  namun juga yang sifatnya lebih konkrit
dan praktis, misalnya membuat anak merasakan pengalaman menjadi minoritas maupun
mayoritas dengan kegiatan-kegiatan, contoh lainnya perkenalkan kepada anak tentang
keragaman dengan mengajak berkunjung ke tempat yang penuh keragaman,  kemudian juga
orangtua dan guru dapat mengajak anak untuk berbincang santai tentang perbedaan serta
mengajarkan bagaimana memberikan respon dan sikap yang tepat terhadap perbedaan
tersebut. Orangtua dan guru harus dapat  menjadi contoh bagi anak dalam menyikapi

keragaman misalnya berpikiran terbuka, tidak mudah terprovokasi, menyebarkan hal-hal baik
bukan hoax dan menghargai oranglain.
Kita perlu membangun perjumpaan dalam perbedaan, menumbuhkan lingkungan yang
multikultral akan meminimalisir prasangka sekaligus mengurangi cara pandang yang
didasarkan pada latar belakang suku, etnis, dan agama. Perbedaan membuat hidup kita menjadi
lebih berwarna semua perbedaan harus bisa diterima, berbeda bukan berarti tidak beteman
bukan?

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *