Antara Anggota ISIS dan buaya, tentu saja berbeda. Sebab, yang satunya manusia. Sementara, yang lainnya binatang atau hewan liar. Tapi, cukup menarik untuk diperbincangkan sebagai perbandingan.
Buaya terjarat Ban. Tapi, bukan dijerat oleh orang dengan sengaja. Mungkin insting buaya yang salah dalam fungsi. Atau, dia sedang memangsa sesuatu dalam lingkaran ban tersebut. Boleh jadi, semuanya tanpa sengaja karena buaya tidak berakal. Sedangkan, ban adalah benda mati.
Sebaliknya, Anggota ISIS terjerat faham atau idiologi. Mereka semuanya berakal. Penjeratnya juga berakal. Karena akal itu pula, kini mereka dikhabarkan sudah sadar dan ingin kembali ke tanah air.
Beda dengan buaya yang tidak faham, mengapa terjerat ? Juga, buaya tidak memahami bahwa banyak orang yang mau menyelamatkannya. Anggota ISIS mungkin sudah menyadari mengapa terjerat. Dan, sekarang ditengarai telah insyaf. Masalahnya, menonjol ketidak setujuan warga. Artinya, warga menolak. Tidak bersedia menyelamatkan.
Pertanyaannya, mengapa kepada binatang (buaya), warga mau menyelamatkannya. Bahkan dengan sedikit kontra ekologis. Karena, untuk selamatkan buaya, harus dipancing dengan itik hidup. Seolah itik boleh mati untuk selamatkan buaya. Namun, pada manusia (ISIS), kita enggan. Padahal kalau dilepas, keduanya berpotensi bahaya ?
Ada ahli yang bilang “the man is a tool making and used animal “. Ada juga ungkapan manusia itu serigala bagi sesama. Terdapat sebutan dalam bahasa arab, “al insanu hayawanun nathiq”. Manusia sesungguhnya hewan yang berakal atau berfikir. Jadi, bedanya tipis antara manusia dan binatang. Bahkan, agama juga memfonis manusia lebih rendah dari binatang. Itulah, mereka yang diberi nurani, hati, akal, mata dan telinga. Akan tetapi, tidak digunakan sesuai kehendak penciptanya.
Akhirnya, renungan saya singgah di kesimpulan sederhana. Mungkin sementara. Buaya, tidak berbahaya bila tidak diganggu habitatnya (keganasannya pasif). Karena itu, jarang terdengar berita nelayan Palu diterkamnya. Faktanya, mereka (buaya dan nelayan) beraktivitas di habitat yang sama tanpa saling ganggu di muara sungai Palu.
ISIS mungkin tidak pandang habitat. Boleh jadi, dia menyebarkan ancaman pada siapa saja di habitat mana pun (keganasan aktif). Barangkali ini yang bikin orang takut. Jangankan Ex ISIS yang berkelas dunia. Residivis krimal biasa yang keluar dari penjara pun kerap masih dipandang bahaya oleh masyarakat.
Namun demikian, di atas segalanya. Semua terpulang pada pemerintah. Membolehkan kembali atau melarangnya. Bila satu waktu, negara berbaik hati meski dengan resiko besar. Maka, lakukanlah dengan sungguh sungguh. Identifikasi, nama, asal usul dan tempat tinggal. Lantas, dekati dengan hati. Semoga, menjadi pelajaran bagi generasi. Wallahualam bi syawab.
Penulis : Nur SANG ADJI